Di jaman sekarang ini banyak penipuan penipuan dengan modus investasi, baik di sektor riil maupun portofolio dengan tingkat pengembalian yang menggiurkan. Misalnya, ada yang menawarkan investasi Rp 1 juta, dengan pengembalian Rp 100 ribu per bulan.
(Itu berarti, setahun bunganya mencapai 120 persen, dan dibayarkan 10 persen per bulan. Sungguh tak masuk akal, namun begitu menarik hasrat.)
Mengapa imbalan bisa setinggi itu? Alasan yang sering dikemukakan, karena uang Rp 1 juta tadi ditanamkan di saham – sesuatu yang masih asing bagi banyak warga – dan investasi perkebunan.
Tentu iming-iming tidak berhenti sampai di situ. Dana yang sudah ditanamkan bisa diambil kembali secara utuh dalam kurun waktu tertentu, misalnya enam bulan. Tak heran, banyak yang tergiur. Bahkan ada kasus, saking tergiurnya, maka keluarga inti hingga keluarga besar pun ikut dilibatkan. Teman dan pacar pun dirayu.
Sampai akhirnya, pengelola dana raib tak tentu jejak rimbanya. Alhasil, investasi pun berbuah utang, bukan untung.
Banyak kemungkinan yang menyebabkan penipuan seperti ini bisa berkembang. Antara lain akibat ketidaktahuan, tergiur dengan “bujukan awal”, sampai gara-gara kesalahan membaca informasi, yaitu kisah sukses orang investasi di portofolio seperti saham, yang memberikan keuntungan besar. Nah, mungkin ini korban keterbukaan informasi.
Sejatinya, tidak mungkin ada pendapatan diperoleh tanpa keringat. Tidak ada pula keuntungan besar tanpa risiko tinggi. Mau cepat sampai ke tempat tujuan dengan motor, ya harus kecepatan tinggi dengan risiko kecelakaan fatal. Ini sudah rumus umum.
Dari beberapa kasus penipuan investasi dengan beragam modus, iming-iming yang digunakan adalah:
1) Imbalan yang menggiurkan,
2) Modal yang terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah,
3) Perhitungan kasar dari keuntungan bisnis yang ditawarkan, dengan menyembunyikan risiko.
Tetapi ada beberapa keanehan juga yang hampir terjadi di banyak model bisnis investasi tersebut, antara lain :
1) Penetapan harga “saham” investasi yang tidak jelas,
2) Kedudukan kantor-kantor perwakilan yang tidak meyakinkan, serta
3) Laporan keuangan yang juga tidak pernah diinformasikan kepada penanam modal.
4) Ada kecenderungan memaksa dalam arti, ingin transaksi secepatnya terjadi. Ini modus penjual agar tidak kehilangan momentum calon konsumen yang sedang takjub.
Tolak saja pada tawaran pertama agar tidak “terhipnotis” tawaran menggairahkan.
Bagaimana menghindari tertipu investasi bodong seperti ini?
Sebaiknya, tolak saja pada tawaran pertama agar tidak “terhipnotis” tawaran menggairahkan. Kemudian, coba hitung akumulasi bunga dalam setahun, lazimnya diberikan oleh investasi. Bila tawaran tadi menjanjikan hasil yang jauh berlipat ganda, kita harus curiga.
Karena harga saham senantiasa naik-turun, tidaklah masuk akal bila ada investasi yang mampu menjanjikan keuntungan tetap Rp 100 ribu per bulan.
Kemudian, tanyakan juga pada pihak berwenang, misalnya Bank Indonesia melalui hubungan masyarakat, terkait institusi dan rasionalitas tawaran yang diberikan. Atau, mungkin saja ada rekan maupun saudara yang mengetahuinya. Jangan-jangan perusahaan yang menawarkan malah tidak terdaftar atau berbadan hukum.
Tak kalah pentingnya, waspadai sisi hukum. Pastikan, sebagai investor kita terlindungi dari sisi hukum. Karena itu, mengecek perjanjian menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, harus jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap investasi kita.
Bukan sekadar apa yang mereka janjikan sebagai imbalan.
Semoga bermanfaat...
Sumber: http://plasadana.com